Iman Nurjaman
1145030080
Sastra Inggris I B
“ROBOHNYA SURAU KAMI”
Oleh: A.A. Navis
A. Pendahuluan
Cerpen atau cerita pendek adalah karya fiksi berbentuk
prosa yang isinya merupakan kisahan pendek dan mengandung kesan tunggal.
Masalah kehidupan yang disuguhkan pengarang dalam cerpennya
tentu saja merupakan refleksi realitas, yaitu penafsiran mengenai kehidupan
manusia atau merupakan suatu bentuk penyaluran ide pengarang untuk menyindir
suatu realita yang ada dalam masyarakat. Melalui cerpen yang dikarangnya,
pengarang juga dapat mengembangkan ide-ide baru yang terlintas dalam pikiran
pengarang sehingga dapat diperhatikan oleh pembaca dan dapat dijadikan sebagai
bahan perbaikan. Dalam penulisannya cerpen tentu berbeda dengan karangan ilmiah.
Menulis cerpen tidak hanya menuangkan gagasan atau merangkai cerita saja,
tetapi juga kalimat-kalimat yang digunakan harus memiliki jiwa yang membuat
pembaca seolah-olah mengalami sendiri peristiwa atau konflik yang ada dalam
cerita.
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya
sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat
memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi,
mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan
pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa
masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik,
pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca
cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur
kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di
dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan
cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh
permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan
tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh
atau membencinya.
B. Pembahasan
Salah satu karya A.A. Navis yang monumental adalah cerpen
yang berjudul “Robohnya Surau Kami”. Kalau dilihat dari judulnya, maka orang
akan berpikir bahwa ceritanya berisikan nilai-nilai keagamaan, atau dengan kata
lain adalah cerpen relijius. Akan tetapi setelah membaca cerpen ini maka,
pembaca akan menemukan isi sebaliknya. Secara keseluruhan, cerpen ini adalah
berisikan kritik terhadap praktik agama di Indonesia. Walaupun terkesan
surrealis, karena adanya dialog antara karakter Tuhan, dengan karakter Haji
Saleh. Akan tetapi, dialog tersebut juga menyimpan kandungan kritik implisit
terhadap realitas praktik keagamaan di Indonesia.
Praktik keagamaan seperti apa yang coba dikritik oleh A.A
Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami?” Jawabannya adalah praktik keagamaan
yang membuat orang menjadi malas, dan meninggalkan kehidupan duniawi. Dalam
cerita memang dikisahkan tentang seorang pemuka agama, yang meninggalkan
keluarganya serta kehidupan duniawinya demi menyembah kepada Tuhan, yang dalam
hal ini adalah Allah SWT.
1. Tentang Penulis
Haji Ali Akbar Navis
yang lebih dikenal dengan A.A. navis, lahir di kampung Jawa, Padang, Sumatera
Barat, 17 November 1924. Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka
di Indonesia. Ia mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Pernah menjadi Kepala
Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi
(1952-1955), pemimpin redaksi Harian Semangat
di Padang (1971-1982), dan sejak 1969 menjadi Ketua
yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Karya-karyanya adalah Hujan Panas
(1964), Kemarau (1967), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Bertanya Kerbau Pada Pedati (2002), dan Saraswati, Si Gadis Dalam Sunyi.
Penulis ” Robohnya Surau Kami ” menguasai berbagai
kesenian seperti seni rupa dan musik. Beliau meninggal dunia dalam usia hampir
79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu, 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos
Sudarso, Padang.
2. Simpulan Cerita
Cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis ini dimulai dengan penggambaran latar tempat cerpen itu, yaitu
sebuah surau yang berada di kampung si penulis, yang berjarak sekitar satu
kilometer dari pasar. Ini adalah gambaran budaya Minangkabau, bahwa pasar
adalah pusat perekonomian. Selain pasar ada surau, yang merupakan cerminan
relijiusitas masyarakat Minangkabau yang mayoritas beragama Islam. Kakek yang
menjadi tokoh utama cerpen ini adalah seorang Garin atau penjaga surau, yang
menjalani hidup yang asketis, yaitu bekerja tanpa pamrih, dan tidak
mementingkan masalah keduniawian, ini terlihat pada deskripsi pekerjaan si
kakek dalam cerita:
“Sebagai penjaga surau,
Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali
se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan
mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai
pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.
Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum” (AA. Navis,
2007:1-2).
Bagian berikutnya adalah informasi
bahwa si kakek ternyata telah meninggal, karena sebuah cerita yang diceritakan
oleh Ajo Sidi (pembual) yang merupakan seorang pencerita.
Yang menarik adalah mengapa seorang
yang telah menjalani hidup yang asketis yang relijius ini, bisa meninggal hanya
karena cerita karangan seorang pembual? Isi cerita Ajo Sidi, tokoh si Kakek
sebenarnya adalah gambaran dari Haji Saleh. Walaupun beda nama, tetapi tingkah
lakunya sama. Si Kakek dan Haji Saleh sama-sama memokuskan hidupnya untuk
kehidupan akhirat, dapat kita pahami dalam kutipan cerita berikut ini, “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat
punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala.” (Navis,
2007). Ini perkataan si Kakek, tentang deskripsi kehidupannya. Sementara
untuk Haji Saleh, kita bisa mencermati dialog antara Haji Saleh dengan
Tuhan untuk mengetahui informasi lebih jauh tentang Haji Saleh:
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau
selalu, Tuhanku.’ ‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam.
Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Ya, Tuhanku, tak ada
pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu.
Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan
aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’”
(Navis, 2007:6-7).
Begitu dialog antara Haji Saleh dan
Tuhan, yang mencerminkan deskripsi pekerjaan Haji Saleh di dunia. Bagian
berikutnya adalah Tuhan memerintahkan Haji Saleh untuk dilempar ke neraka. Di
neraka ternyata Haji Saleh bertemu dengan teman-temannya di dunia yang juga
melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukannya di dunia, yaitu sama-sama
taat beribadat pada Tuhan yang mereka yakini. Karena merasa tak terima, maka
mereka bersama-sama menghadap Tuhan, untuk protes dan menanyakan alasan mengapa
mereka dimasukkan ke neraka.
Ketika bertemu Tuhan, Haji Salehlah
yang menjadi juru bicara para pemrotes. Dia menyebutkan bahwa mereka semua
adalah umat yang taat beribadat, dan lainnya, untuk lebih lengkapnya, mari kita
lihat perkataan Haji Saleh tersebut:
“Haji Saleh yang jadi
pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan
berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang
menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami
hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan
kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini,
atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam
Kitab-Mu.” (Navis, 2007:9-10).
Intinya Haji Saleh menuntut agar dia
dan teman-temannya dimasukkan ke surga, sebagai balasan dari ketaatan mereka beribadat
di dunia. Hanya saja pada bagian cerita berikutnya Tuhan memberikan penjelasan
yang sama sekali berbeda dengan keinginan Haji Saleh dan kawan-kawan. Lebih
tepatnya penjelasan Tuhan tersebut adalah berupa kritik terhadap metode mereka beribadat
kepada Tuhan di dunia. Untuk lebih lengkapnya mari kita lihat argumentasi Tuhan
tersebut:
‘Engkau rela tetap melarat,
bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali,
Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak
cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami
itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar
kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa
yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau
biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta
bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku
menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk di sembah saja. Tidak.
Kamu semua mesti masuk
neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!” (Navis, 2007:11-12).
Argumentasi Tuhan ini
sebenarnya bukan hanya sebuah kritik terhadap praktek keagamaan Haji Saleh dan
kawan-kawan, melainkan terhadap praktek keagamaan masyarakat Indonesia, yang
tidak mengerti esensi dari ajaran agama yang mereka yakini. Kalau dilihat
realitas Indonesia, kita akan menemukan banyak sekali orang yang pintar mengaji
dan rajin sholat, akan tetapi tidak paham isi Al Qur’an dan bacaan sholat yang
sering mereka baca tersebut.
3. Pembacaan dan Analisis
a. Unsur-unsur Intrinsik
1). Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi
keluarganya. Karena ia terlalu fokus untuk kehidupan akhiratnya demi mencapai
surga-Nya Allah SWT.
2). Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
a) jangan bangga oleh gelar dan nama besar yang disandang,
b) jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki,
c) belajar bermuhasabah dalam menjalani kehidupan,
d) jangan cepat marah, dan
e)
jangan egois.
3). Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial.
4). Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa
yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan
strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul
di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
5). Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek,
Haji Soleh, Tuhan dan Malaikat-Nya.
a)
Tokoh Aku berwatak
selalu ingin tahu urusan orang lain.
b)
Ajo Sidi adalah
orang yang suka membual.
c)
Kakek adalah orang
yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
d)
Haji Soleh yaitu
orang yang selalu mementingkan diri sendiri.
e)
Tuhan yang selalu
tahu akan hamba-Nya, dan
f)
Malaikat yang
selalu patuh dan taat kepada Allah.
6). Titik
Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama
(akuan, sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita.
Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek
bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
7). Gaya
Di dalam cerpen ini
pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan ia sangat cerdas dalam
memergunakan kata-kata tersebut, sekilas pembaca tidak mengetahui isi cerita
cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.
4. Kesimpulan
Secara
umum, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memiliki cerita yang
sangat unik dan menarik. Cerita ini dikemas secara sederhana, namun penuh makna
dan kritik atas kehidupan manusia pada jaman modern ini. Di mana manusia
berlomba-lomba untuk memenuhi kepentingannya sendiri, bahkan dalam masalah
agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat, agar dirinya dapat
masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena
mencintai-Nya, melainkan agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya
untuk masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memrihatinkan memang, tapi itulah
kenyataan pada masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan
dituangkankannya ke dalam cerita ini.
Referensi:
AA Navis. 1984. Robohnya
Surau Kami. Kumpulan Cerpen. Jakarta.
No comments:
Post a Comment