Nama Mata Kuliah :
Introduction to Literary Analysis
Kode Mata Kuliah :
KU-05011
Bobot SKS :
2 SKS
Semester/Kelas :
I / I B
Jurusan/Program Studi : Sastra Inggris
Dosen :
R. Myrna Nur Sakinah, M.Hum.
Nama Mahasiswa/NIM :
Iman Nurjaman/114503008
Latar Belakang
Apakah Sastra
itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak
akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian, jika seseorang ditanya
tentang apakah ia pernah membaca karya sastra. Jawabannya, “ya, pernah atau
belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah ia menyukai sastra, dengan segera
pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian
hidupnya bergaul dengan sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya
tidak dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia
mengenal sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya
Dalam
kehidupan keseharian pula, pada umumnya
orang menyukai sastra.
Kata-katamutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan
salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam
situasi berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
orang kearah bersastra.
Untuk memahami
dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman tentang teorisastra. Teori
sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu
disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan
penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori
sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam
teori sastra. Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam
teori sastra.
Melalui jurnal
ini, secara umum diharapkan kita dapat memahami hakikat sastra dengan ruang
lingkupnya sebagai bekal kita dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra.
Untuk mencapai tujuan tersebut, didalamnya disajikan urutan materi berupa:
1.
Pengertian
Sastra
2.
Hubungan
Sastra Dengan Yang Lainnya
3.
Genre
Sastra, dan
4.
Perkembangan
Sastra
A.
Pengertian Sastra
Pengertian
tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian
tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing.
Menurut
Jacob Sumardjo
dan Saini K.M., mendefnisikan sastra dengan lima buah
pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut
dibatasi menjadi sebuah definisi, sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang
berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan
bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil
aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan
menulis, pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala
hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang
tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk
menggambarkan kehidupan itu.
Istilah sastra
dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta, akar kata sas biasanya
menunjukkan alat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar,
buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su berarti
baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw.
1988:23).
B.
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah
Sastra
Pada
hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat
didalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur,
pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan,
alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Disisi
lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas,
memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan
atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis
karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan
atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan
konvensi sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan
antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari
ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode
ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan
sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari
penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan
terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada
periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra,
antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
C.
Jenis-Jenis (Genre) Sastra
Genre Sastra
dikelompokan menjadi dua, diantaranya:
1.
Sastra
Imaginatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk
menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan
makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang
semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif
berupaya menyempurnakan realita kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau
realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. Jenis-jenis
tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa
naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek
(cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang
mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Pada akhirnya, semua
pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara
pada bagaimana cara
memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara
komprehensif. Tanpa
adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra
imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
2. Sastra Non-Imajinatif
Sastra non-imajinatif memiliki
beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat
dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut.Pertama, dalam karya sastra
tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalnya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan
tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang.
Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama
memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan,
harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu
unsur). Dalam praktiknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas
karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memo, catatan
harian, dan surat-surat.
D.
Perkembangan Sastra
1. Anglo Saxon
Pertengahan abad ke-5 dianggap sebagai permulaan Sastra
Inggris. Kepulauan Britania ditaklukan oleh suku-suku Teutonic, Angles dan
Saxons. Suku asli ditaklukan oleh suku-suku tersebut dan tulisan-tulisannya
kemudian dikenal dengan nama Anglo-Saxon. Karya-karya Sastra Inggris Kuno masih
tersimpan rapi dalam bentuk manuscript
di perpustakaan-perpustakaan seperti perpustakaan Museum Inggris, Oxford
University, Execeter Catherdal dan sebagian kecil tersebar di beberapa tempat.
Beowulf merupakan epos pertama dan terbesar yang lahir pada zaman ini. Bahasa
kuno Inggris tidak dapat dibaca kecuali oleh mereka yang secara khsus
mempelajarinya. Epos ”Beowulf” memberikan gambaran yang menarik dari kehidupan
pada masa itu.
Periode sastra Anglo-Saxons dimulai dengan nyanyian-nyanyian
dan dongeng ketika mereka hidup di daerah perbatasan Laut Utara. Tiga suku
nenek moyang mereka, the Jutes, Angles dan Saxons menaklukan Britania di
pertengahan abad ke-5 dan merupakan pelopor berdirinya Negara Inggris.
Kemungkinan pendaratan pertama di Britania adalah oleh suku Jutes sekitar tahun
449. Pada tahun 1066 Inggris ditaklukan oleh bangsa Skandinavia yang
mengalahkan Harold, raja terakhir Saxons dalam Battle of Hasting.
2. Masa Pertengahan
Salah satu prosa Inggris terkenal di Abad Pertengahan
adalah Morte D’Arthur (Arthur’s Death) ditulis oleh Sir thomas Malory. Karena
saat itu merupakan tahun-tahun kekerasan sebelum dan selama Wars of the Roses,
hal tersebut membuat Malory menjadi seorang tokoh yang keras. Beberapa kali ia
dijebloskan ke penjara. Setidaknya sebagian dari Morte D’Arthur di dalam
penjara. Prosa karya Malory mampu menceritakan sebuah cerita secara langsung
sebagian dari ”King Arthur is badly Wounded” .
GEOFREY CHAUCHER, 1340-1400
Geofrey Chaucer dikenal sebagai the father of the Middle
English poet. Dibandingkan dengan karya sastra Inggris kuno, karya Chaucer
dapat dideteksi dengan menggunakan kacamata pembaca modern, walaupun konjugasi
kata kerjanya secara jelas mencerminkan the
Germanic inflection.
PERIODE SETELAH CHAUCER
Kesusasteraan Inggris setelah meninggalnya Chaucer (1400)
mengalami penurunan yang sangat drastis. Tak satupun pujangga yang muncul pada
masa ini, tak satupun penulis prosa yang muncul untuk dinikmati karyanya dengan
senang hati hingga saat ini. Penemuan yang sangat penting pada masa ini adalah
ditemukannya ”percetakan”. William Caxton (1422-1490) mendirikan penerbitan di
London, dekat dengan Westminster Abbey tahun 1476.
DAMPAK TIDAK LANGSUNG DARI ITALIA
Italia tidak hanya memberikan dampak seperti pada
penjelasan di atas, tetapi juga memberikan dampak dengan cara yang lain
terhadap perkembangan Renaissance di Inggris. Pada saat jatuhnya Constantinople
pada tahun 1453, para cendikiawan dan ilmuwan Yunani pindah ke Italia dengan
segudang manuscript pengetahuan yang
sangat berharga, dimana pertama kalinya barat secara langsung berhubungan
dengan bahasa dan Sastra Yunani. Para pelajar Italia secara langsung juga
berhubungan dan belajar dengan pelajar atau ilmuwan Yunani yang mengunjungi
Italia dan untuk pertama kalinya pada tahun 1500 bahasa Yunani dipelajari di
Oxford University.
PERIODE TRANSISI
Periode ini adalah masa diantara runtuhnya kejayaan
Chaucer dan masa awal kebangkitan intelektual untuk menuju masa Elizabeth (the
Age of Elizabeth). Selama kurang lebih satu setengah abad setelah masa Chaucer
tak satupun karya sastra yang muncul dan standar umum karya sastra pada masa
ini sangat rendah.
3. Masa Elizabeth
Masa Elizabeth dalam dunia sastra Inggris dikenal dengan
sebutan the Golden Age (masa keemasan). Sastra mengalami puncak perkembangan
pada awal masa pemerintahan Elizabeth. Pada masa Elizabeth semua keraguan
nampaknya sirna dari sejarah masyarakat Inggris. Setelah masa pemerintahan
Edward dan Mary, dengan kekalahan dan kehancuran moral diluar negeri dan
kekerasan dan pembrontakan di dalam negeri, pergantian tampak kekuasaan raja
seperti sunrise after a long night.
PUJANGGA-PUJANGGA NON DRAMATIK ZAMAN ELIZABETH
Edmund Spencer (1552-1609)
Sebagai pelajar yang miskin, Spencer mengerti bagaimana
ia menciptakan sesuatu untuk dirinya sendiri; dia banyak membaca karya-karya
klasik, melakukan kontak dengan penyair-penyair Italia dan menulis sendiri
puisi yang jumlahnya tak terhitung. Walaupun Chaucer adalah guru besarnya,
ambisinya bukanlah untuk menandingi Canterbury Tales, tetapi lebih pada
keinginan untuk mengungkapkan mimpi-mimpi besar orang Inggris. Melankoli atas
hilangnya Rosalind (kekasihnya) tercermin dalam karyanya the Shepherd’s
Calendar.
PUJANGGA-PUJANGGA DRAMA
Christopher Marlowe (1564-1593)
Nama terbesar dalam drama sebelum Shakespeare adalah
Christopher Marlowe, anak seorang tukang sepatu, lahir beberapa bulan sebelum
Shakespeare di Canterbury, wilayah (county) Kent. Dengan bantuan temannya yang
memiliki pengaruh ia sekolah di Corpus Christi College, Cambridge dan lulus
pada tahun 1583. empat tahun kemudian, pada awal usia 23 tahun, drama
pertamanya muncul di London. Selama enam tahun antara drama ini dengan
kematiannya, Marlowe menulis lebih dari enam karya drama, beberapa lyric, dan
naratif cinta dalam bentuk puisi bebas.
MORALITY PLAYS
Dalam Drama Moraliti (Morality Play), tokoh-tokoh pemeran
dipersonifikasikan secara abstrak mewakili nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai
yang terkandung didalamnya (virtues and vices), dan kualitas pikiran manusia.
Dalam moralitas setiap manusia, sebagai contoh, beberapa karakter yang ada
seperti kematian (death), persahabatan (fellowship), pengetahuan (knowledge),
keinginan yang baik (good deeds), dan kedewasaan (discretion). Karakter populer
yang ditemukan dalam morality plays adalah nilai-nilai kebaikan dan kejahatan.
TEATER PERTAMA
Interlude, dan jenis drama terdahulu tidak ditampilkan di
atas pageant wagons sampai pada tahun 1576 mereka diberi pekarangan atau
halaman atau gedung tempat mereka mengadakan pementasan. Gedung pertunjukkan
pertama di bangun di London dan diberi nama The Theatre. Setelah Shakespeare
meningglakan London tiga pulu tahun kemudian, terdapat sekitar sepuluh atau dua
belas gedung pertunjukkan, dua diantaranya adalah the Globe dan the Blackfriars
- pemiliknya adalah seorang dramatis.
Yang paling mengejutkan adalah hanya ada sedikit wanita yang terlibat dalam
pementasan drama pada masa Elizabeth. Wanita terhormat yang ada di penonton
menggunakan topeng dan tidak ada wanita di atas panggung. Peran wanita dalam
drama diambil alih oleh laki-laki sampai pada pertengahan abad ke-17.
4. Masa Shakespeares
Pada tahun 1582 dia menjadi seorang yang cukup sukses
dalam penulisan drama. Tahun berikutnya muncul karyanya yang dipublikasikan,
puisi naratif tentang Venus and Adonis. Fakta mengejutkan muncul dari Stratford
yang menyatakan bahwa anak satu-satunya meninggal pada tahun 1596. tahun
berikutnya Shakespeare membeli sebuah rumah mewah di tengah kota. Shakespeare
dianggap sebagai dramatis terbesar baik dalam tragedi maupun komedi.
Pada tahun 1600, dia merupakan pemilik teater the Globe dan the
Blackfriars; hal tersebut membuktikan bahwa dia memang seorang yang kaya dalam
hal harta. Ayahnya meninggal pada tahun 1601 dan ibunya meninggal pada tahun
1608, Shakespeare sendiri menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Stratford
yang diketahui dari berbagai sumber; tetapi mengapa dan mulai kapan dia
mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai aktor, penulis drama dan manajer
sepenuhnya tidak diketahui.
PERIODE SETELAH SHAKESPEARE
Ben Johnson (1573-1673)
Penerus terbesar Shakespeare dalam drama adalah Ben
Johnson, dapat juga disebut sebagai sahabat Shakespeare. Dia adalah pujangga
dan dramatis paling berpendidikan pada masa tersebut. Pada awalnya ia
disekolahkan di Westminster School, dan dia bekerja untuk beberapa waktu di
luar negeri bersama angkatan perang Inggris. Walaupun dia tidak mengenyam
pendidikan tinggi di Universitas, tetapi dia memperoleh gelar penghormatan dari
Oxford dan Cambridge University. Johnson merupakan orang kesayangan James I
yang menjulukinya sebagai Poet Laureata pada tahun 1616. walaupun dia sering
mendapat penghormatan dari raja, tetapi ia sering mengacuhkannya karena
sifatnya yang arogan, sering terlibat hutang dan meninggal dalam kemiskinan
pada tahun 1637. Dia dikuburkan di Wstminster Abbey.
PERIODE SETELAH SHAKESPEARE
5. Masa Puritan VS Restorasi
Nama puritan dikenalkan pada pertengahan abad ke-16 yang
diberikan kepada suatu kelompok di dalam gereja Inggris yang tujuannya adalah
untuk membersihkan bentuk-bentuk praktik dan upacara keagamaan. Kebebasan dalam
menjalankan kepercayaan beragama secara langsung diikuti oleh kebebasan dalam
berpolitik. Milton, tidak diragukan lagi sebagai penulis terbesar yang
dihasilkan oleh kaum Puritan, merupakan cerminan tipikal orang-orang Puritan.
Puisi di usia tuanya ditulis untuk ”justify the ways of God to Man”, tidak
diragukan lagi telah memenuhi keinginan orang-orang puritan.
MASA RESTORASI
Hidup di bawah pemerintahan Puritan bukanlah hal yang
membahagiakan. Orang-orang tertentu saja yang mungkin akan menikmati kesenangan
dari tekanan kehidupan, adanya penolakan diri dan larangan adanya
hiburan-hiburan; tetapi kelas masyarakat tidak bertambah. Yang harus diingat
adalah dalam keadaan ini munculnya pelarangan bukan karena hiburannya. Puritan
menentang pelaksanaannya, bukan karena memberikan rasa sakit pada pelarang
tetapi karena memberikan rasa senang kepada penikmatnya.
Para penulis bukannya tidak membuat usaha, mereka tida lari jauh dari
bentuk dan materialnya. Mereka berkarya dengan menggunakan model Drama Perancis
yang dinamakan comedies of Moller, menurut teori drama Perancis. Mereka
menghidupkan kembali karya-karya Shakespeare dan karya lainnya di zaman
Elizabeth untuk membuktikan pada masa itu bukanlah zaman yang ”barbarian”.
SAMUEL PEPYES (1633-1703)
Pepyes lahir di London, anak seorang penjahit. Dia
mengikuti pendidikan di St. Paul’s School dan Magdalena College, Cambridge dan
lulus pada tahun 1650. Pepyes merupakan diarist terbesar dalam sastra Inggris.
Salah satu diary-nya menceritakan kebakaran besar yang terjadi di london pada
tahun 1666.
6. Masa Romantisme
Paruh pertama abad ke-19 tercatat sebagai the triumph of romanticism in literature
dan juga democracy in government.
Keduanya berjalan beriringan. Penekanan utama puisi pada awal masa ini adalah
bentuk susunannya yang rumit, tanpa menggunakan terlalu banyak perasaan. Heroic
couplet banyak digunakan pada bait-baitnya. The lyrical ballad (1798) datang
membawa kejutan, sebagai pertanda awal dari masa romantisme adalah adanya
kerjasama antara William Wordsworth dan Samuel Taylor Coleridge, sering dikenal
sebagai the Lake Poets, karena mereka berdua suka tinggal di daerah danau di
barat daya Inggris dan hidup di sana.
MAKNA ROMANTISME
Sebagai sebuah pemikiran dan pendekatan terhadap karya
sastra, Romantisme diasosiasikan dengan Vitality, powerful emotion, limitless
and dreamlike ideas, and unusual individuals. Clasikisme sebagai penyeimbangnya
diasosiasikan dengan order, strong common sense, controlled reason, and normal
types, sebagaimana telah kita bahas dalam era Pope di awal abad 18. Sebagai
masa yang bersejarah dalam kesusasteraan Inggris, masa romantisme berlangsung
dari tahun 1798, ketika Wordsworth dan Colredge menerbitkan lyrical ballad
mereka, sampai pada sekitar tahun 1830-an, ketika Ratu Victoria jatuh (1837)
dan semua pujangga-pujangga penting meninggal kecuali Wordsworth. Selama masa
ini, gagasan-gagasan revolusioner di Amerika dan Perancis sudah secara luas
merasuki pemikran-pemikiran manusia dan para perinits sastra memandang dunia
dengan cara yang baru dan keras. Mereka merevolusi cara-cara lama dalam sastra.
Sumber:
Fananie,
Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University.
Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra
(Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
No comments:
Post a Comment