BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagai manusia, kita melalui beberapa proses perjalanan hidup, yaitu kelahiran, kehidupan, dan kematian. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama, dengan orangyang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian fiqh mawaris?
b. Apa dasar hukum Al-Quran dan Al-sunnah serta ketentuan-ketentuan kewarisan?
c. Ketentuan-ketentuan tentang Mawaris?
d. Bagaimana hukum kewarisan di Indonesia?
e. Apa saja asas-asas hukum kewarisan islam?
f. Bagaimana perkembangan pemikiran tentang hukum kewarisan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Fiqh Mawaris
Mawaris adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara pembagian harta waris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan orang mati. Di dalam islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti peninggalan atau harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi fitnah berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus karena terjadi persengketaan dalam pembagian harta tersebut. Islam hadir memberi petunjuk cara pembagian harta waris. Diharapkan dengan petunjuk itu manusia akan terhindar dari pertikaian sesama ahli waris.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.
2. Dasar-Dasar Hukum Al-Quran dan Al-Sunnah serta Ketentuan-ketentuan Kewarisan
A. Sumber-Sumber Hukum Kewarisan (Faraidh)
Semua masalah yang berpautan tentang hukum islam pastilah ada yang mengatur, ada yang menjadikan sumber, dan ada pula yang menerapkannya. Terutama dalam hal masalah Mawaris, telah dijelaskan secara sempurna untuk menghindarkan persengketaan diantara para ahli waris lainnya.
Namun dalam prakteknya banyak terjadi kejanggalan dalam pembagian harta warisan itu. Krena mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ilmu mawaris. Padahal dasar-dasarnya sudah cukup jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang mawaris itu.
Adapun sumber-sumber hukum mawaris yaitu meliputi:
1. Sebagian besarnya dari Alqur’anul Majid.
2. Sebagiannya dari As-sunnah dan putusan-putusan rasul.
3. Sebagian kecilnya dari ijma’ para ahli ijma’.
4. Beberapa masalah diambil dari ijtihad (qiyas).
Prakteknya dalam kitab-kitab fiqh memang menggunakan sumber di atas. Kemudian dikembangkan menurut pendapat atau pemikiran ulama. Sehingga para ulama dapat mengkategorikan ayat dan hadits termasuk kepada siapa saja yang mendapatkan harta warisan.
Menurut agama islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu pertama, para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum ada agama islam menurut hukum adat di tanah Arab, merupakan ahli waris. Dan kedua, orang-orang yang oleh beberapa pasal dari kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen). Golongan pertama mengenai adanya sifat kebapakan kekeluargaan di tanah Arab, yang terdiri dari anak-anak lelaki, cucu-cucu lelaki anak dari anak lelaki, saudara-saudara lelaki, anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki, ayah kake begitulah sterusnya. Golongan kedua ditambahkan sebagai ahli waris, yaitu anak-anak wanita, cucu-cucu wanita, janda wanita, janda pria, ibu, dan nenek pancer saudara wanita, baik yang sebapak atau seibu maupun hanya seibu atau sebapak.
Adapun penjelasan di atas merupakan hasil dari adat kebiasaan yang disesuaikan oleh Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya. Kemudian sumber-sumber yang dipakai ialah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
a. Surat An-Nisa’ ayat 11.
1) Menjelaskan tentang bagian anak laki-laki dan perempuan.
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa (4) : 11)
Zaid bin Tsabit ra. Berkata, apabila laki-laki atau perempuan meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan maka bagiannya ½ dan jika meninggalkan dua orang anak atau lebih maka bagian mereka 2/3.
Cucu laku-laki dari anak laki-laki disamakan dengan anak laki-laki. Jika mayat tidak meninggalkan anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki disamakan dengan anak perempuan. Jika myat tidak meninggalkan anak perempuan, sebab kata walad mencakup anak, cucu, cicit, sebagaimana kesepakatan ulama fiqh (Ijma’ Fuqaha).
2) Menjelaskan bagian Bapak dan Ibu.
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunya anak, jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia warisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam, (pembagian-pembagian tersebut di atas) sudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nisa (4) : 11).
b. Surat an-Nisa’ ayat 12.
1) Menjelaskan Bagian Suami.
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisa (4) : 12)
2) Menjelaskan bagian isteri atau beberapa isteri.
Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu”. (Q.S. An-Nisa’ (4) : 12).
c. Surat an-Nisa’ ayat 176.
Menjelaskan bagian saudara sekandung
Artinya: “mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. An-Nisa (4) : 176)
Sedangkan bagian saudara sebapak disamakan dengan bagian saudara perempuan sekandung, sebagaimana pendapat ijma’ fuqaha.
2. Al-Hadits
a. Menjelaskan cara membagi harta peninggalan, shahib furudh didahulukan setelah itu baru ashabah bi an-nafs.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Dari nabi saw. Nabi bersabda: “berikanlah bagian-bagian pasti kepada ahli waris yang berhak. Sesudah itu sisanya diutamakan (untuk) orang laki-laki (‘ashabah)”. (H.R Al-Bukhari)
b. Menjelaskan tentang orang muslim tidak boleh mewaris harta peninggalan orang kafir dan sebaliknya.
Artinya: “Dari usamah bin zaid ra. Rasulallah saw bersabda “orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim”. (H.R. Imam Bukhari)
c. Menjelaskan tentang cucu perempuan (bint ibn) mendapat bagian 1/6 untuk melengkapi bagian ½ yang diterima anak perempuan (bint) sehingga bagian anak perempuan dan cucu perempuan menjadi 2/3, dan saudara perempuan sekandung sebagai ashabah ma’ al-ghair jika bersamaan dengan anak perempuan (bint) atau cucu perempuan (bint ibn).
Artinya: “Dari huzail berkata, Abdullah berkata, saya pasti akan menghukumi masalah (pembagian harta peninggalan) sebagaimana Nabi saw. Menghukumi, untuk bagian anak perempuan setengah (1/2) sedangkan bagiannya cucu perempuan adalah seperenam, lalu sisanya diberikan pada saudara perempuan (sekandung/seayah)”. (H.R. Imam Bukhari).
3. Al Ijma’
Seperti saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan dapat dihalangi (dimahjubkan) oleh salah satu dari enam orang, yaitu:
a. Anak laki-laki dan cucu laki-laki (ibnu dan ibn ibn).
b. Anak perempuan dan cucu perempuan (bint dan bin bint).
c. Bapak dan Kakek (ab dan jad)
4. Al-Qiyas
Seperti cicit perempuan dari keturunan cucu laki-laki (bint ibn ibn) mendapatkan bagian 1/6 jika bersamaan dengan cucu perempuan (bint ibn), jika cucu perempuan (bint ibn) tersebut mendapat bagian ½ (seorang). Disamakan dengan bagian cucu perempuan dari anak laki-laki (bint ibn) mendapatkan bagian 1/6 jika bersamaan dengan anak perempuan (bint), jika anak perempuan (bint) tersebut mendapat bagian ½ (seorang).
3) Ketentuan Mawaris dan Ahli Waris
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar terjadinya perpecahan, bahkan pertumpahan darah antara sesama saudara atau kerabat dalam masalah memperebutkan harta waris. Sehubungan dengan hal itu, jauh sebelumnya Allah telah mempersiapkan dan menciptakan tentang aturan-aturan membagi harta waris secara adil dan baik. Hamba Allah diwajibkan melaksanakan hukum-Nya dalam dalam semua aspek kehidupan. Barang siapa membagi harta waris tidak sesuai dengan hukum Allah akan menempatkan mereka di neraka selama-lamanya. Firman Allah swt.
Artinya:” Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan ” (Q.S. An Nisa: 14)
A. Ketentuan Mawaris
Mawaris ialah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta waris. Mawaris disebut juga faraidh karena mempelajari bagian-bagian penerimaan yang sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi ketentuan. Adapun hukum mempelajarinya ialah fardhu kifayah.
1) Sebab-sebab seseorang menerima hartawarisan
menurut Islam ialah sebagai berikut:
a) Adanya pertalian darah dengan yang meninggal(mayat) baik pertalian ke bawah ataupun ke atas.
b) Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri.
c) Adanya pertalian agama.Contoh jika seorang hidup sebatang kara, lalu meninggal maka harta waris masuk baitul mal.
d) Karena memerdekakan budak.
2) Sebab-sebab seseorang tidak mendapat harta waris ialah sebagai berikut
a) Hamba(budak) ia tidak cakap memiliki sebagaimana firman Allah swt. berikut.
Artinya: ” Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui” ( Q.S. An-Nahl:75).
b) Pembunuh, orang yang membunuh tidak dapat mewarisi harta dari yang dibunuh. Sabda Rasulullah SAW.
Artinya: ”Yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu dari yang dibunuhnya” (H.R. Nasai)
c) Murtad dan kafir, orang yang keluar dari Islam, yaitu antara pewaris atau yang mati, murtad salah satunya.
3) Syarat berlakunya pewarisan ada tiga:
a) Adanya yang meninggal dunia, baik secara hakiki atau hukmi.
b) Adanya harta warisan.
c) Tidak penghalang untuk menerima harta warisan.
Ahli Waris
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah. Ahli ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1) Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c) Ayah
d) Kakek sampai keatas garis ayah
e) Saudara laki-laki kandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Saudara laki-laki seibu
h) Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i) Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j) Paman kandung
k) Paman seayah
l) Anak paman kandung sampai kebawah.
m) Anak paman seayah sampai kebawah.
n) Suami
o) Laki-laki yang memerdekakan
2) Ahli Waris wanita terdiri dari
a) Anak perempuan
b) Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c) Ibu
d) Nenek sampai keatas dari garis ibu
e) Nenek sampai keatas dari garis ayah
f) Saudara perempuan kandung
g) Saudara perempuan seayah
h) Yang Saudara perempuan seibu.
i) Isteri
j) Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari:
a) Yang dapat bagian ½ harta.
1) Anak perempuan kalau sendiri
2) Cucu perempuan kalau sendiri
3) Saudara perempuan kandung kalau sendiri
4) Saudara perempuan seayah kalau sendiri
5) Suami
b) Yang mendapat bagian ¼ harta
1) Suami dengan anak atau cucu
2) Isteri atau beberapa kalau tidak ada
3) anak atau cucu
c) Yang mendapat 1/8
1) Isteri atau beberapa isteri dengan anak
2) atau cucu.
d) Yang mendapat 2/3
1) Dua anak perempuan atau lebih
2) Dua cucu perempuan atau lebih
3) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
4) Dua saudara perempuan seayah atau lebih
e) Yang mendapat 1/3
1) Ibu jika tidak ada anak, cucu dari garis anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
2) Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f) Yang mendapat 1/6
1) Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
2) Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
3) Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
4) Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
5) Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
6) Ayah bersama anak lk atau cucu lk
7) Kakek jika tidak ada ayah
8) Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
4) Hukum Kewarisan di Indonesia
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya bagi ahli waris.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut. Berdasarkan Surat Mahkamah Agung (“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991 ditentukan mengenai ketentuan kewenangan hukum berdasarkan masing-masing kelompok Penduduk di Indonesia yaitu:
a. Penduduk Asli Indonesia, berlaku Hukum Adat;
b. Orang Belanda, Eropa dan yang dipersamakan dengan itu berlaku Hukum Perdata BW;
c. Keturunan Tiong Hoa sejak tahun 1919 berlaku Hukum Perdata Barat
d. Keturunan Timur Asing Lainnya (Arab, Hindu, Pakistan dan Lain-lain) dalam Pewarisan Berlaku Hukum Negara Leluhurnya.
Namun setelah lahirnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 atau yang disebut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), masalah Pewarisan bagi Penduduk Indonesia yang beragama Islam diatur dalam Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214) KHI tersebut, adapun lembaga pengawas atas pewarisan tersebut adalah Peradilan Agama.
Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 / 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas dasar permohonan ahli waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan Fatwa Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk menjual tanah warisan dimaksud.
Berkenaan dengan itu, dalam praktiknya yang terjadi sekarang banyak dari Penduduk warga Negara Indonesia yang beragama selain Islam lebih memilih dan memakai Hukum Waris yang diatur dalam KUHP daripada Hukum Waris yang ditentukan sesuai dengan isi “Fatwa Waris MA”, adapun upaya ini sering disebut dengan “Penundukan secara Sukarela” dan diperbolehkan berdasarkan Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan bahwa:
“Untuk orang-orang Indonesia, golongan Timur Asing atau bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yang merupakan dua golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat megnghendaki, diberlakukan baik ketentuan perundang-undangan untuk golongan Eropa, sedapat mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun ketentuan perundang-undangan yang sama dengan golongan Eropa, sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila temyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya”
Sehingga dengan adanya fasilitas Penundukan secara sukarela ini, sebagian besar Penduduk Indonesia yang beragama selain Islam melaksanakan kegiatan pewarisannya berdasarkan KUH Perdata. Oleh karena kecenderungan seperti itu banyak yang berspekulasi bahwa Hukum Kewarisan di Indonesia yang berlaku hanya 2 (dua) yaitu Hukum Kewarisan Islam berdasarkan KHI dan UU No. 3/ 2006 untuk Penduduk Indonesia yang beragama Islam dan Hukum Kewarisan Perdata Barat berdasarkan KUHP untuk Penduduk Indonesia selain Islam. Pernyataan adalah salah meskipun dalam praktiknya terjadi demikian. Akan tetapi Hal tersebut tidak merubah keberlakukan Hukum Adat dan Hukum Agama masing-masing dari Penduduk Selain Islam untuk diterapkan.
Hukum Perdata Barat yang terdapat dalam KUHP adalah bersifat mengatur atau yang disebut “anvullenrecht”, hal ini bermaksud bahwa sebenarnya tidak ada unsur paksaan harus diterapkannya ketentuan yang terdapat dalam KUHP untuk diterapkan dalam permasalahan Kewarisan di Indonesia namun apabila mereka menginginkan untuk menggunakan KUHP dalam penyelesaian Kewarisan mereka maka hal itu diperbolehkan. Karena dalam praktiknya demikian, Penulis hanya membatasi pembahasan mengenai Hukum Kewarisan selain Islam khusus hanya sebatas Hukum Kewarisan menurut KUHP sebagaimana banyak digunakan dalam praktik.
5) Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
a. Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
1) dari peralihan harta,
2) dari segi jumlah harta yang beralih,
3) dari segi kepada siapa harta itu akan beralih.
Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya”. kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.
b. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di temui dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu).
Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. An-nisa (4) : 7)
c. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara individu.
d. Asas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179.
e. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.
Perkembangan Pemikiran Tentang Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan Islam sebenarnya telah ada dalam kitab-kitab yang membahas tentang kewarisan atau ilmu waris/ilmu faraid, namun yang menjadi obyek dalam tulisan ini adalah hukum waris yang telah terlembagakan dalam peraturan di Indonesia atau minimalkan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam sengketa waris di peradilan Agama di Indonesia.
Dari penelusuran yang dilakukan penulis sepanjang sejarah peradilan di Indonesia hukum kewarisan Islam baru terlembagakan dalam aturan tertulis setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan baik oleh Instansi pemerintah maupun masyarakat.
Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), Biro Peradilan Agama melalui surat edarannya No. B./1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 menganjurkan kepada para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah, Syar‟iyah untuk mempergunakan 13 kitab, sebagai pedoman bagi parahakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum Islam. Namun pada kenyataannya, keputusan yang dihasilkan tetap saja beragam, karena tidak adanya rujukan yang pasti untuk dijadikan pedoman. Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman yang seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Karena secara substansi kompilasi tersebut sepanjang sejarahnya telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Dalam kenyataannya Kompilasi Hukum Islam telah dipakai oleh para Hakim di Peradilan Agama dalam memutuskan perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan kepadanya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229).
Dalam pasal 171 huruf c dijelaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris. Pasal ini menjelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama Islam maka tidak dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Adapun untuk mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam pasal 172 KHI menjelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam diketahui dari kartu identitasnya atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan untuk bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, agamanya menurut ayahnya atau lingkungannya.
Adapun identitas pewaris dijelaskan pada pasal 171 huruf b yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam Hukum Kewarisan Islam dalam perundang-undangan di Indonesia seorang ahli waris yang bisa mewarisi pewaris keduanya haruslah beragama Islam. Implikasinya adalah ahli waris non muslim bukan ahli waris dari pewaris muslim.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Mawaris adalah membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan orang yang menminggal dunia. Dengan Tujuan Agar Umat Islam Dapat membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan nash Al Qur’an dan hadits, sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-masing ahli waris.
Kedudukan ilmu muwaris dalam agama islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dengan membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak adami manusia bisa terselesaikan dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga Al Qur’an menjelaskan perkara mawaris secara terperinci.
Demikian juga Rasulullah SAW menganggap penting ilmu mawaris karena dihawatirkan kalau ilmu mawaris akan terlupakan, Rasullullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Abu hurairah Ra bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda: belajarlah ilmu faroid dan ajarkanlah kepada manusia maka sesungguhnya ilmu faroid adalah separuh dari ilmu agama dan dia akan dilupakan olah manusia dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari umatku (HR. Ibnu Majjah dan Daruquthni).
Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga karena tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan . Hal yang perlu diperhatikan apabila kita orang muslim mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya apabila mendapatkan warisan dari orang tua maupun orang lain.
No comments:
Post a Comment