MAKALAH
JUAL BELI TAREKAT IDRISIYAH
Disusun untuk memenuhi syarat memperoleh nilai UAS
mata kuliah Ushul Fiqih
Oleh:
1. Iman Nurjaman
2. Fajar Faisal Abgori
3. Fini Nurul Fitriani
4. Hilya Shally Lafifah
SASTRA INGGRIS FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya – shalawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Dosen kami Bapa Ujang Suyatman.yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Serta dalam penyempurnaan makalah ini.
Dan juga kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak pesantren Al-Idrisiyah yang telah berkenan membagikan informasi dan pengetahuannya kepada kami. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli merupakan sesuatu yang selalu terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia. Karena itulah Islam memberikan pembahasan khusus terhadapnya agar kelak dalam prosesnya tidak ada yang saling dirugikan. Islam memberikan pembahasan yang memudahkan manusia untuk bertransaksi khususnya dalam jual beli. Hubungan antara penjual dan pembeli adalah titik fokus terjadinya sebuah transaksi. Keduanya harus mendapatkan keuuntungan. Karena itulah islam sangat peduli terhadap hal tersebut. Dari makalah inilah jual beli akan dibahas. Tak hanya dari segi teorinya saja, bahkan praktek juga sangat dibutuhkan agar lebih mudah dan cepat memahaminya. Pembahasan sekaligus hasil penelitian dalam makalah inidimaksudkan agar masyarakat khususnya umat islam tahu dan paham bagaimana sistem jual beli dalam islam dan juga bagaimana lembaga islam juga berperan penting dalam menciptakan umat yang berjiwa usaha. Lembaga islam seperti pesantren dijadikan tempat untuk menciptakan umat islam yang tak hanya ahli ibadah tetapi juga ahli dalam berwirausaha yang sesuai dengan syariat islam tentunya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem jual beli menurut syariat islam?
2. Bagaimana sistem ekonomi yang diterapkan di Tarekat Idrisiyah?
3. Bagaimana kerjasama dalam islam yang dipakat Tarekat Idrisiyah?
C. Tujuan Penilitian
Pada dasarnya islam adalah agama yang mengataru setiap aspek kehidupan, salah satunya dalam hal muamalah, hal tersbut dipraktikkan oleh Tarekat Idrisiyah dalam pelaksanaanya mereka bisa dikatakan cukup berhasil dalam hal ekonominya, dengan adanya makalah ini sebagai hasil dari penelitian kami semoga pembaca bisa lebih memahami tentang dalam konteks jual beli iru sendiri
1. System jual beli dalam islam
2. Hal apa sajakan yang diperbolehkan untuk jual beli dalam islam
3. Bagaimana tarekat idrisiyah merapkan konsep muamalah dalm praktinya di kehidupan sehari-hari.
BAB II
JUAL BELI DALAM KONTEKS ISLAM
1. Definisi Jual-Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).
2. Hukum Jual-Beli
Islam memang agama yang sangat istimewa. Sampai-sampai perkara jual beli saja terdapat hukum dan ketentuan tertentu demi kelancaran kegiatan jual beli itu sendiri serta dapat menjadi berkah bagi para pelaku jual beli. Hukum jual beli sebenarnya sederhana. Yaitu terdapat penjual dan pembeli, sudah baligh, barang yang diperjual belikan ada, dan ijab qobul. Layaknya pernikahan, kegiatan jual beli juga harus ada ijab qobul yaitu seperti ada ucapan persetujuan dari pembeli untuk membeli, dan persetujuan dari penjual untuk menjual. Namun bedanya dengan ijab qobul pernikahan, ijab qobul jual beli tidak harus menggunakan kalimat atau kata-kata tertentu. Dan ini harus murni dari keinginan si penjual dan pembeli tanpa ada rasa paksaan sedikitpun.
Akad jual beli di dalam islam sebenarnya tidak ribet, tanpa disadari masyarakat sendiri pastinya sudah menerapkan hukum jual beli yang sah dalam islam. Namun tahukah anda, di dalam islam ada beberapa jual beli yang terlarang yang mungkin belum banyak yang tahu. Seperti apakah jual beli yang terlarang tersebut?
3. Syarat – Syarat Jual-Beli
Jual beli dianggap sah secara syar’i bila memenuhi beberapa persyaratan berikut:
1. Keridhaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
Dalil ini terdapat dalam Q.S An-Nisaa : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
2. Yang melakukan akad jual beli adalah orang yang memang diperkenankan menangani urusan ini.
Dalam hal ini adalah seorang yang berakal dan baligh. Dengan syarat ini, ada beberapa orang yang diperbincangkan para ulama tentang akad jual beli mereka. Di antaranya adalah:
a. Orang Gila
b. Orang Mabuk
c. Anak Kecil (belum baligh)
3. Barang yang diperjualbelikan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah.
4. Banyak sistem jual beli terlarang yang tidak memenuhi persyaratan ini, dan hampir seluruhnya masuk dalam kategori :
5. Barang yang diperjualbelikan dapat diserah terimakan.
Akad jual beli dari pemilik barang atau yang menggantikan posisinya
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S. An-Nisa : 29 sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
Karena itu tidak diperbolehkan meng-urusi harta orang lain tanpa seizin pemilik-nya.
6. Akad jual beli dilakukan oleh pemilik barang atau yang menggantikan kedudukannya (yang diberi kuasa).
7. Barang yang diperjualbelikan harus diketahui dengan cara dilihat atau dengan criteria / spesifikasinya dan masuk pula dalam syarat ini: harga dan tempo harus diketahui. Syarat ini dijadikan oleh sebagian ulama sebagai syarat ketujuh.
8. Barang yang diperjualbelikan ma’lum (diketahui) dzatnya, baik dengan cara dilihat atau dengan sifat dan kriteria (spesifikasi)-nya.
Masing-masing syarat di atas mengan-dung sekian banyak permasalahan yang terkaitan dengan jual beli. Jika dirinci, akan diketahui mana mekanisme yang diperboleh-kan dan mana yang terlarang secara syar’i. Bila telah tuntas uraiannya, yang tersisa hanya beberapa bab saja dalam masalah jual beli, seperti bab Khiyarat dan Riba.
Karena keterbatasan lembar majalah ini, maka akan kami uraikan seperlunya dan kami sebutkan masalah-masalah yang masyhur saja, bi idznillahi ta’ala (dengan izin Allah SWT).
4. Enterpreneur Sufi Yang Ditawarkan Oleh Tarekat Idrisiyyah
Di tengah-tengah kondisi persaingan bisnis yang sering membuat stres para entrepreneur, Tarekat Al-Idrisiyyah menawarkan konsep entrepreneur sufi. Tarekat yang memiliki pondok pesantren di Cisayong Kabupaten Tasikmalaya ini membuktikannya, dari berbagai bidang usaha yang dikembangkannya berkembang pesat dan dikenal luas di kalangan masyarakat umum. Salah satu contohnya, konsep toko serbaada Qinimart, peternakan dan pertanian inovatif, sejumlah warung kuliner hingga rumah makan dan juga membina perekonomian masyarakat dengan membentuk baitul mall wattamwil (BMT). Kopontren pesantren Al Idrisiyyah juga pernah menjadi juara 1 Koperasi terbaik tingkat nasional pada tahun 2006 lalu.
"Entreprenur sufi lebih ditekankan pada spirit personality, membangun power dari dalam, memiliki niat yang lurus dan visi misi yang besar," ungkap pimpinan tarekat Idrisiyyah Syaikh M Fathurahman, saat ditemui INILAH Kamis (2/5) malam.
Fathurahman menjelaskan, spirit dari dalam berawal dengan niat lurus, niat dunia adalah jalan untuk menuju akhirat. Dengan nilai keimanan, apapun bentuk bisnisnya akan dipandang sebagai bentuk kegiatan ibadah. "Pemahaman awal ini sangat penting, memiliki tujuan akhirat akan membangun paradigma jangka panjang, tidak mencari jalan pintas dalam berbisnis, sangat memperhatikan prinsip usaha dan akan siap pula menghadapi musibah," jelasnya.
Orang yang memiliki tujuan bisnis jangka pendek, jelas dia, hanya berorientasi pada kesuksesan saja dan tidak siap dengan kegagalan. Pada akhirnya, sering banyak orang yang stress karena berorientasi pada hasil bukan proses. Kita tidak bisa merubah arah angin tetapi bisa merubah arah layar. "Ketika menghadapi masalah dan musibah, entrepreneur sufi akan langsung mengevaluasi diri," ujarnya. Kegagalan akan dirubahnya menjadi kekuatan untuk bangkit lagi dan siap merubahnya menjadi peluang baru. berbagai konsep bisnis baru, ide baru dan pengalaman baru akan bangkit setelah melakukan evaluasi diri, "Secara otomatis akan terbangun kesadaran siapa dirinya, siapa Tuhannya dan kesadaran agamanya," katanya.
Proses kegiatan usaha yang terukur dan terarah adalah prinsip entrepreneur sufi, jelasnya. Selain itu, karakter yang tidak kalah penting adalah menilai hasil usaha dengan menggunakan dua sudut pandang, yaitu syari'at (dunia) dan hakikat (akhirat). Dia menjelaskan, dalam dunia usaha untung dan rugi dalam kaca mata materi pasti terjadi, sehingga ketika hasil usaha dianggap rugi sekalipun ia masih punya harapan besar dan panjang karena masih ada keuntungan yang bersifat ukhrawi. Pemahaman ini yang akan membangun keoptimisan diri, memiliki paradigma visioner. Kondisi inilah yang sangat diperlukan oleh entrepreneur siapapun dan dimanapun.
"Niat yang lurus dan kuat yang disandarkan kepada Alloh Swt dalam berbisnis, akan menjadi motivasi dan ruh kekuatan dalam setiap bentuk tindakan dan pengambilan keputusan. Setiap permasalahan tidak akan disikapi dengan emosional, akan tetapi disikapi secara rasional dan diputuskan secara spiritual," bebernya.
5. Kerjasama Usaha dalam Islam yang diterapkan Tarekat Idrisiyah
Islam sebagai agama yang universal mengatur segala aspek kehidupan manusia, di antaranya aturan syariah dalam bermuamalah. Muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia yang meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial. Dalam bermuamalah kita sering melakukan berbagai bentuk kerja sama antara kedua belah pihak. Dalam Islam kerjasama tersebut diatur dalam sebuah akad (perjanjian) mudharabah. Dalam fiqih klasik ilmu bahasan ini disebut dengan Fiqih Qiradh. Uraian pembahasan ini erat kaitannya dengan investasi yang sudah dilakukan dalam divisi ekonomi Tarekat Idrisiyyah dalam berbagai sector usaha seperti Qini Mart, peternakan, perikanan/tambak udang, dan lain-lain.
Mudharabah berasal dari kata dharbun [ضَرْبٌ] yang mengandung arti memukul atau berangkat (pergi). Yang dimaksud dharbun di sini adalah berasal dari potongan ayat wa aakhoruuna yadhribuuna fil ardhi yabtaghuuna min fadhlillaah [وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ] Dan yang lainnya, mereka berangkat di muka bumi untuk mencari karunia Allah. (Q.S. Al Muzzamil: 20). Makna yadhribuuna [يَضْرِبُونَ] di sini adalah berusaha atau berbisnis. Kata dharbun [ضَرْبٌ] tersebut masuk ke dalam wazan ‘mufa’alah’ sehingga menjadi mudharabah.
Sedangkan qiradh menurut bahasa artinya al qith’u [القطع] yang mengandung arti potongan. Orang yang memiliki harta memotong sebagian hartanya untuk dibelanjakan atau dikaryakan untuk suatu usaha sehingga mendapatkan keuntungan.
Secara terminologi (istilah), yaitu suatu akad dari kedua belah untuk melakukan kerja sama dalam suatu usaha. Pihak pertama disebut dengan Shahibul Mal (penyandang dana atau investor), dan pihak kedua disebut dengan Mudharib atau pelaku usaha. Kegiatan mudharah atau qiradh ini bisa dilakukan oleh 2 orang atau pihak.
Di dalam mudharabah harus jelas point yang disepakatinya. Jika seseorang meminjamkan uang kepada orang lain untuk orang sakit, membeli beras, dan lainnya hal itu bukan disebut sebagai mudharabah atau qiradh, karena termasuk kebutuhan konsumtif. Konsep mudharabah adalah dalam bingkai usaha. Jika meminjamkan uang untuk kepentingan yang bersifat konsumtif disebut dengan Riba.
Disebut dalam hadis: kullu qardhin jarro naf’an fahuwa riba [كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا] (tiap pinjaman untuk konsumsi dan mengambil kemanfaatannya maka dinamakan riba).
Dahulu ada orang Yahudi melakukan hal tersebut, meminjamkan uang kepada orang yang sedang sakit. Kemudian ia kenakan bunganya (seminggu atau sebulan). Sehingga ketika belum melunasinya ia hitung terus bunganya. Qardhun (pinjaman) yang bersifat konsumtif yang diambil keuntungannya di sini dihukumkan haram. Berbeda dengan Qiradh, yang diperuntukkan untuk bisnis.
Pengertian qiradh atau mudharabah adalah suatu bentuk akad yang dibuat oleh kedua belah pihak untuk membangun suatu usaha dengan keuntungan dibagi berdua sesuai kesepakatan. Pihak pertama adalah penyandang dana (investor/shahibul mal), dan pihak kedua adalah pelaku usaha (mudharib).
a. Rukun Mudharabah:
1) Akad,
2) Usaha (halal) yang disepakati,
3) Modal (harta),
4) Shahibul mal (pemilik dana)
5) Mudharib (pelaku usaha)
6) Keuntungan.
Cara mengambil keuntungan ada 2. Pertama dengan cara mengambil nisbah (persentase)nya, untuk penyandang dana, dan pelaku usaha. Diperlukan sikap adil. Keadilan bukan dalam arti sama, yakni kebijaksanaan (kearifan) dalam membagi hasil. Dihitung bulanan atau tahunan, apakah ada keuntungannya. Dibagi 50:50. 60:40, dan sebagainya sesuai kesepakatan awal, dan pendekatannya adalah keadilan.
Apabila usahanya sudah berjalan stabil, pengalaman, teruji dari waktu ke waktu, berkembang dari satu tempat ke tempat lain, maka boleh mengambil keuntungan atas kesepakatan bersama tidak menunggu hasil tapi sudah ditentukan dari jumlahnya. Misalnya diberikan sekian persen dari modal yang diberikan. Hal ini dimusyawarahkan dan terjadi mufakat di kedua belah pihak.
Dalam kasus meminjam uang di bank dalam rangka menambah modal usaha, kita bisa menggunakan akad mudharabah/qiradh ini. Pihak bank sebagai shahibul mal (penyandang dana), dan kita sebagai mudharib (pelaku usaha). Jika kita telah mempunyai kecakapan dalam usaha, dengan kestabilan usaha, sehingga dimusyawarahkan oleh kedua belah pihak mengenai bagi hasilnya, maka boleh mengambil persentase dari modal yang diserahkan oleh bank.
Berbeda dengan jika usahanya masih baru, yang berusaha belum berpengalaman, maka hal itu tidak diperbolehkan dalam kondisi normal. Walau pihak bank menentukan besar persentase hasilnya. Tapi jika dalam kondisi darurat, di mana usaha menjadi wajib sementara keluarga mesti diberikan nafkah hidup maka diperbolehkan. Dalam illmu fiqih disebut dengan Ummul balwa (darurat). Yang diperlukan adalah kesungguhan dalam berusaha supaya dapat mengembalikannya.
Dalam keseharian, jika tidak memahami fiqih qirah/mudharabah akan mengalami perselisihan (baik ketika untung atau rugi). Ketika untung tidak adil, ketika rugi saling menyalahkan. Akhirnya saudara menjadi musuh karena kerjasama usaha tersebut.
Di zaman modern saat ini mesti dituangkan poin-poin yang disepakati bersama. Sering dalam keseharian, dalam urusan pinjam meminjam modal tidak ada akad, aturan main, MoU, dsb. Akhirnya terjadi perselisihan, silang pendapat, konflik, dan lainnya. Hal itu terjadi karena tidak ada konsep fikih. Jangan hanya mengandalkan rasa percaya yang ada dalam hati. Tapi mesti dibungkus dengan aturan fikih. Yakni Fikih Muamalah dengan Bab Mudharabah.
Agama Islam yang sempurna dan komprehensif ajarannya benar-benar memperhatikan aspek zhahir (ilmu fiqih) dan aspek batin (ilmu tasawuf). Kerjasama usaha yang lebih utama adalah yang dibangun dan dikelola oleh lembaga yang resmi. Kerjasama antar pribadi yang tidak ada penengahnya sering mengalami masalah ketika tidak ada MoU, kesepakatan tertulis dan disaksikan. Hal itu berujung kepada perselisihan dan membawa kepada rizki yang tidak berkah. Tidak semua orang memiliki kecakapan entrepreneurship (kemampuan berwirausaha), meski sudah mengerti teori ekonomi yang didapati di bangku sekolah/kuliah. Adanya lembaga seperti BMT (Baitul Mal wat Tamwil) menjadi media (intermediary) kerjasama usaha yang terbaik bagi umat.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sangat memperhatikan dengan baik bagaimana mu’amalah ini memberikan banyak manfaat dibanding kerugiannya.
Dari mulai bab jual beli dimana si penjual dan si pembeli diberikan keluasan dalam bertransaksi tetapi tetap mengedepankan kepuasan terhadap keduanya. Bahkan barang-barang yang di perjual belikan pun harus memenuhi syarat terlebih dahulu. Hal ini tentu sangat baik agar manusia bisa terhindar dari hal-hal yang tidak baik untuk dirinya dan memang dilarang oleh agama.
Tak hanya jual beli. Aspek lain seperti Ariyah (pinjam meminjam), Qiradl ( memberi modal untuk berniaga) dan lainya juga dibahas secara rinci. Islam adalah agama yang rinci tetapi tidak pernah memberatkan umatnya. Islam selalu membuat mudah umatnya dengan segala ajarannya.
Pada dasarnya apa yang sudah Islam ajarkan kepada umatnya adalah semata mata agar umatnya dapat hidup dengan damai, tentram dan sejahtera hingga nanti dihari akhir. Begitupun dengan ajaran Islam tentang mua’malah. Pembahasan ini sangat membantu kita dalam menjalankan bisnis perdagangan khususnya dan umumnya kehidupan kita sehari-hari. Begitupun dengan Tarekat Idrisiyah yang masih memegang teguh dalam muamalahnya yang masih beracuan pada syari’at Islam
Referensi
- https://muslim.or.id/222-jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html
(diakses pada tanggal : 22/12/2015 11:44.)
- http://asysyariah.com/jual-beli-sesuai-tuntunan-nabi/
(diakses pada tanggal : 22/12/2015 11:44.)
- http://pengajian-ldii.net/2014/06/28/7-transaksi-haram/
(diakses pada tanggal : 22/12/2015 13.46)
- https://rumaysho.com/2308-barang-yang-haram-diperdagangkan.html
(diakses pada tanggal : 22/12/2015 14:08)
- http://www.entrepreneurmuslim.com/hukum-jual-beli-yang-sesungguhnya-dalam-islam
(diakses pada tanggal : 23/12/2015 10:25)
No comments:
Post a Comment