Kejutan Minat
Bicara tentang budaya, Riau
punya sejumlah aspek yang cukup menarik. Malah dapat dikatakan bisa
mengagumkan. Tapi puak Melayu di Riau, hampir tak pernah membanggakannya,
apalagi menjadi kesombongannya. Ini terjadi karena resam dan adat Melayu yang
bersandar pada agama Islam, membuat tradisi kehidupan mereka punya rasa malu
serta takut melampaui batas. Mereka melihat dari ajaran Islam itu, kebanggaan
dan kesombongan hanyalah perbuatan sia-sia. Sebab merusak marwah serta
menghapus amal saleh. Dalam pandangan Melayu yang islami, budaya hanya sekadar
dipakai pada medan hidup dunia, namun takkan mampu ditumpangi untuk menghadapi
maut atau kematian. Hanya ajaran Islam yang lurus yang akan mampu
mengantarkan tiap insan kepada gerbang kematian dalan keadaan ridha dan diridhai.
mengantarkan tiap insan kepada gerbang kematian dalan keadaan ridha dan diridhai.
Jangankan masyarakat di luar
Riau, puak Melayu Riau saja, hanya berapa yang mengenal pengarang Riau yang
cemerlang seperti Raja Ali Haji, Tuan Guru Abdurrahman Siddik, Soeman Hs dan
Hasan Junus. Siapa yang hanya mengenal keindahan Masjid Sultan Riau di Pulau
Penyengat Indrasakti dan istana Sultan Siak Sri Indrapura yang bernama
Assajarah Hasyimiyah, apalagi yang paling tua candi stupa di Muara Takus.
Masjid Sultan Riau dibangun 1832, istana sultan Siak dibangun tahun 1846
selesai 1849, sedangkan Candi Muara Takus diperkirakan berdiri abad ke 7
Masehi. Belum lagi beberapa peristiwa jihad yang cukup mengagumkan. Paling
kurang dimulai dari medan jihad Teluk Ketapang yang membawa syahid pada Raja
Haji Fisabilillah, perlawanan sengit “Harimau Rokan” Tuanku Tambusai,
pertarungan Tengku Sulung di Retih dan serangan berani mati dari Pak Boyak di
Inderagiri Hilir.
Berbagai dimensi budaya
serta peristiwa kehidupan tersebut, semakin lama semakin kabur oleh kabut
zaman, semakin terpendam dalam debu riwayat, sehingga semakin jauh dari
pandangan mata dan lenyap dalam ingatan. Padahal kata Amir Hamzah bangsawan
Melayu dari Deli Langkat yang menyandang gelar Raja Penyair Pujangga Baru,
“dalam beberapa hal yang silam tetap berharga”.
Raja Antropologis
Dalam tulisan yang pendek
ini diketengahkan satu di antara khasanah budaya Melayu itu, yakni perpustakaan
yang bernama Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi, yang kemudian lebih terkenal dengan
Kutub Khanah Marhum Ahmadi. Pustaka ini memberi bukti bahwa di Riau pernah
tampil pemegang teraju pemerintahan yang punya sentuhan budaya atau pejabat
yang bernafaskan cendekiawan. Kutub Khanah Marhum Ahmadi dibangun oleh Yang
Dipertuan Muda Riau X, yakni Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi (1858-1899). Inilah
raja atau pejabat yang punya kesadaran dan pandangan jauh ke depan tentang
masyarakat, budaya dan agamanya. Dia dapat dikatakan sebagai raja yang punya
sentuhan antropologis. Tidak hanya pandai bertitah tapi lebih banyak
merenungkan tentang nasib rakyatnya.
Raja Muhammad Yusuf
al-Ahmadi tampaknya punya pemahaman yang memadai tentang tipologi masyarakat
yang dipimpinnya. Dia melihat bagaimana puak Melayu telah nikah-kawin dengan
perantau Bugis, lalu berikrar hidup bersama seia-sekata dalam Kerajaan Riau
Lingga. Dia tentu melihat kenyataan betapa Riau terletak pada jalur dagang
antar bangsa, sehingga anak negeri harus bergaul dengan berbilang bangsa. Sementara
itu dia niscaya mengetahui tradisi Bugis yang suka membuat catatan pribadi
serta kebiasaan orang Melayu yang suka berbual-bual. Jika kedua tradisi ini
bisa bersampuk pada medan budaya, tentu dapat melahirkan generasi pengarang
yang tangguh.
Tak diragukan lagi Raja
Muhammad Yusuf adalah raja yang alim. Dia menganut tarekat Naksyahbandiyah.
Karena itu sebagai seorang yang punya pemahaman agama yang memadai, tentulah
pemegang teraju kerajaan ini dapat melihat bagaimana hubungan agama dengan ilmu
serta hubungan ilmu dengan pustaka. Seorang Islam harus lebih dulu punya ilmu
tentang agama ini, baru kemudian melaksanakan ajarannya. Tanpa ilmu, segala
amal dan ibadah menjadi percuma lagi sia-sia. Selanjutnya, ilmu dan pustaka
punya hubungan balas-membalas. Ilmu telah melahirkan pustaka, kemudian pustaka
telah mendorong ilmu berkembang.
Pustaka Islam
Kutub Khanah Marhum Ahmadi
dapat dikatakan sebagai pustaka Islam pertama di rantau Asia Tenggara. Sebab,
ketika pustaka ini ditaja tahun 1866, belum pernah kita ketahui ada pustaka
Islam yang lain di rantau ini. Mengapa Riau menjadi pusat bahasa dan budaya
Melayu dalam abad ke 19, tak dapat dilepaskan dari peranan pustaka ini. Mengapa
Riau berhasil menampilkan Rusydiah Klab sebagai semacam perkumpulan cendekiawan
atau pengarang, pustaka ini juga merupakan satu di antara kuncinya.
Khazanah kitab-kitab
perpustakaan ini telah ditanggulangi oleh Raja Muhammad Yusuf dengan membeli
kitab-kitab dari Timur Tengah, yang sebagian besar adalah kitab mengenai kajian
agama Islam. Jika ditaksir harga kitab-kitab yang telah dibeli untuk pustaka
ini, tidak kurang dari 10.000 ringgit pada masa itu. Pustaka telah mengambil
tempat pada Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat. Dengan demikian, para
jamaah, musafir yang singgah di masjid ini serta pengunjung lainnya, dengan
mudah memanfaatkan pustaka ini, sambil datang ke masjid untuk salat berjamaah
serta kepentingan amal ibadah lainnya.
Dalam penelitian tahun 1981,
peninggalan pustaka Kutub Khanah Marhum Ahmadi ini dapat dicatat ada 366 buah
kitab. Dari jumlah sebanyak itu, 166 telah dapat dibuat identifikasinya.
Sebelumnya, dari tahun 1958-1959 telah dilakukan upaya mengumpulkan dan alih
aksara atas perintah Gubernur Riau, SM Amin, Haji Muhammad Yunus penasehat
Gubernur dan Muhammad Apan Bupati Kepulauan Riau. Hasilnya ada 3 jilid, yang
tiap jilid hampir 1.000 halaman. Tiap jilid telah diberikan kepada Gubernur SM
Amin, Haji Muhammad Yunus, Bupati Apan dan Muhammad Yamin sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi sayang, sampai sekarang belum ada satupun yang
dapat dijumpai di antara karya yang amat beharga itu.
Dalam tahun 1982 dilakukan
penelitian naskah kuno Riau. Dalam penelitian itu dapat dicatat 108 judul
naskah lama Riau. Sedangkan kitab-kitab milik pustaka Kutub Khanah Marhum Ahmadi
masih ada sebanyak 45 judul. Naskah kuno Riau dan kitab-kitab Kutub Khanah
Marhum Ahmadi dapat terpelihara berkat jerih payah Raja Hamzah Yunus, yang
mencoba memelihara khazanah ini dengan segala keterbatasan teknologi, bagaikan
memelihara anaknya sendiri. Menurut keterangan Raja Hamzah Yunus, Buya Hamka
pernah meminjam kitab dari pustaka ini. Kekayaan pustaka ini amat sulit sekali
memeliharanya, karena kitab-kitab ini selalu mendapat serangan kuman atau hama
di samping pengaruh udara dan tempat penyimpanannya. Dalam tulisan yang
sederhana ini diberikan 15 judul kitab pustaka tersebut. Bagi yang ingin
melakukan kajian lebih lanjut dapat membaca hasil penelitian kuno tahun 1982
dan mengunjungi Balai Maklumat di Pulau Penyengat.
Senarai 15 judul kitab tersebut
ialah sebagai berikut:
Ihya Ulumuddin, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al Ghazali;
Tafsir Al Quran al Jalalain,
Jaluludin Muhammad bin Ahmad dan Jalaludin Abd al Rahman bin Abi Bakr al
Sayuti;
Kitab al Talwiyah, Said al
Din al Taftazani;
Diwan Ibn Faridh, Rasyid Ibn
Ghalib;
Al Zawajir, Imam Ibn Hajar;
Tarikh al Malik al Mawa’id,
Ismail al Fada’ Shahib;
Hayat al Hayawan al Kabri,
Arsyad al Sari;
Mufatih al Ghaib, Al Imam
Muhammad al Razi Fajri al Din Ibn Dhiuadin Umar al Mustar.
Tafsir al Quran al Jalil,
Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al Bagdadi;
Kitab al Qanun fi al Thib,
Abi Ali Ibn Sina
Furu’al Masail, Al Sech Daud
bin Abdullah al Ghatani al Malayuwi;
Fath al Muin, Said Alwi Ibn
Said Ahmad Al Saqaf;
Khasiyat Khatimah, Sech
Abdul Hamid al Syarwani;
Al Ayat al Binat, Ahmad bin
Qasim al Abadi;
Siraj al Qari, Muhammad
Salih bin Zainal Abidin bin Muhammad al Fatani.
No comments:
Post a Comment