Bangkrut. Kira-kira kata tersebut
paling mengusik pengusaha, entah dikhawatirkan, takut, dan sebagainya. Terlepas
dari itu, tahukah Anda, siapa orang bangkrut sesungguhnya menurut Rasulullah
SAW?
Dikisahkan, Rasulullah Saw pernah
berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi.
"Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?" tanya Rasulullah.
Para sahabat berpendapat, orang
bangkrut adalah mereka yang tidak mempunyai dirham maupun dinar.
Ada juga yang
berpendapat mereka
yang rugi dalam perdagangan. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan banyak
pahala shalat, puasa, zakat, dan haji.
Tapi di sisi lain, ia juga mencaci
orang, menyakiti orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan darah,
dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan
pahalanya kepada orang yang pernah dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya,
sementara masih ada yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya diberikan
kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muslim,
Tirmidzi, dan Ahmad).
Hadis ini mengubah cara pandang
para sahabat tentang kerugian yang sebenarnya bukanlah persoalan harta, melainkan
amal ibadah. Amal ibadah tak bernilai apa-apa, kecuali diikuti dengan amal
sosial.
Pahala menggunung tak ada artinya
tanpa diikuti dengan akhlak yang baik. Baiknya pemahaman agama seseorang
dibuktikan dengan baiknya akhlak dan perilaku.
Rasulullah Saw pernah
bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk surga adalah
takwa kepada Allah Swt dan akhlak yang mulia." (HR Ahmad).
Sebagaimana kisah berangkat haji
seorang tabi’in, Ali bin Muwaffaq. Dari 60 ribu jamaah haji yang datang ke
Tanah Suci, hanya haji Ali bin Muwaffaq seorang yang mabrur.
Padahal, sebenarnya ia tak pernah
menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ali menemukan satu keluarga yang kelaparan
dalam perjalanan hajinya dari Damaskus.
Ia pun membatalkan perjalanan
hajinya dan memberikan bekalnya kepada orang yang kelaparan itu.
Kisah masyhur yang ditulis
Abdullah bin Mubarak ini mengisyaratkan, tak ada artinya ibadah sehebat apa pun
tanpa peduli dengan kondisi sosial.
Betapa banyak mereka yang pulang
pergi ke Tanah Suci, namun tetangganya sendiri berada dalam kesusahan.
Apa artinya seorang Muslim
berangkat haji dari lingkungan yang melarat dan kelaparan?
Ibadah haji sebagai rukun Islam
terakhir menjadi ibadah tertinggi di sisi Allah. Tak ada balasan yang lebih
pantas bagi seorang yang mendapatkan haji mabrur, kecuali surga.
Namun pada kenyataannya,
kepedulian sosial jauh lebih mahal harganya dari ibadah individual. Menyakiti
orang lain bisa menghapuskan nilai ibadah yang telah susah payah diperjuangkan.
Kepedulian seorang Ali bin
Muwaffaq telah menuntunnya mendapatkan haji mabrur. Kendati tak pernah
menginjakkan kaki di Tanah Suci, ia diberikan hadiah haji mabrur dari Sang
Khaliq.
Hal ini memperlihatkan, akhlak
yang baik merupakan bukti kesempurnaan ibadah seseorang.
Allah Subhana wa taala tak (hanya)
menginginkan hasil, melainkan melihat prosesnya juga.
Proses perjalanan haji seorang
Ali bin Muwaffaq telah memperlihatkan akhlak yang agung.
Itulah alasannya, ia mendapatkan
balasan yang baik dari perjalanan hajinya. Rasulullah Saw dikenal sebagai orang
yang paling baik akhlaknya. Lisannya tak pernah menghardik, apalagi menyakiti
orang lain.
Sikap dan tindak tanduk Beliau
senantiasa disukai, baik kawan maupun lawan. Tak pernah Rasulullah Saw melukai
siapa pun.
Baiknya hubungan vertikal kepada
Allah Swt harus dipadu dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia.
Keindahan Islam terlihat dari keagungan akhlak para penganutnya.
Mereka yang dilembutkan hatinya
(mualaf) terbuka untuk menerima Islam sebagai agamanya, kebanyakan karena
melihat keindahan akhlak yang dituntunkan Islam.
*Kontributor beritalangitan.com
Makassar
No comments:
Post a Comment