BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap sesuatu memiliki maksud tertentu dibelakangnya. Bagaikan membangun sebuah bangunan. Untuk membuat sebuah bangunan yang kuat, maka pembuatan pondasi pun harus dibuat secara rapih dan kuat tentunya. Semakin kuat pondasi sebuah bangunan, maka semakin kuat pula bangunan tersebut nantinya. Bila diibaratkan lagi dengan manusia. Sepasang kekasih yang akan menikah. Para orang tua pastilah melihat terlebih dahulu latar belakang dari pasangan anaknya kelak. Semakin bagus latar belakangnya, maka semakin yakin pulalah orang tua merestui anaknya.
Kembali pada penyusunan makalah. Diatas telah disebutkan beberapa gambaran tentang betapa pentingnya perencanaan, dan latar belakang dalam menyusun sesuatu agar hasilnya bagus dan sesuai. Sama seperti penyusunan makalah penelitian. Latar belakang sudahlah pasti adalah bagian terpenting.
Pada makalah ini tema yang kami jadikan sebagai objek penelitianya adalah “Ajaran dan Larangan” yang dipercayai oleh masyarakat Kampung Naga. Tema tersebut kami ambil karena kami melihat bahwa mereka sangat menghargai, menjaga serta merealisasikan apa yang mereka sangat yakini. Cara mereka mempercayai dan menjaganyalah yang membuat kami berpikir bagaimana ajaran dan larangan tersebut muncul sehingga sangat dipercayai oleh mereka, dan tidakah merek amerasa terbebani dengan apa yang mereka percayai. Hanya dengan kata ‘pamali’, masyarakat Kampung Naga segan dan takut untuk melanggarnya. Dalam makalah inilah kami mencoba untuk menjelaskan pemikiran kami tersebut dengan didasari atas hasil penelitian kelapangan secara langsung tentunya.
B. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang kami temukan dan akan coba kami jelaskan diantaranya adalah:
1. Apakah ajaran dan larangan yang dipercayai masyarakat Kampung Naga sesuai dengan ajaran Islam?
2. Bagaimana ajaran dan larangan tersebut berkembang dalam masyarakat Kampung Naga itu sendiri?
3. Bagaimana mereka menjaga dengan baik kepercayaan mereka di jaman yang modern ini?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dari pengambilan tema berikut adalah tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat secara langsung bagaimana
ajaran dan larangan yang sudah ada di Kampung Naga direalisasikan oleh masyarakatnya.
2. Agar lebih memahami kehidupan masyarakat Kampung Naga.
3. Penunjang kelulusan mata kuliah dasar-dasar filsafat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan diambil manfaatnya oleh semua kalangan terkhusus kepada para mahasiswa sebagai sarana pembelajaran yang lebih efektif dan juga sebagai alat untuk memberikan pemahaman lebih terhadap sesuatu dan memberikan motivasi dan inspirasi bagi mereka para mahasiswa khusunya dan kalangan umum tentunya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian dari Kampung Naga, sejarah Kampung Naga sehingga di harapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana kampung tersebut ada, larangan-larangan, adat istiadat serta kepercayaan masyarakat Kampung Naga yang masih mereka lakukan.
1. Pengertian Kampung Naga
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang berlokasi di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. lokasinya tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan antara Kota Garut dan Kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur dengan batas wilayah di sebelah barat, Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di hutan tersebut ada makam leluhurnya Kampung Naga, dan di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai ciwulan yang bermata air dari gunung Cikuray, jadi sebenarnya nama Kampung Naga itu sendiri merupakan singkatan kata dari kampung dina gawir (bahasa sunda), sedangkan apabila dalam bahasa indonesia sendiri artinya sebuah kampung yang berada di lembah yang subur. Kampung Naga merupakan perkampungan kecil yang dihuni oleh 101 kepala keluarga, memiliki luas 1500 m2, para penduduknya masih menjaga tradisi para leluhurnya, dan inilah yang membuat kampung ini unik, karena mereka masih tetap menjaga budaya leluhur mereka sampai sekarang.
2. Sejarah Kampung Naga
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang masih sangat tradisional, dan asal muasal dari nama Kampung Naga itu sendiri merupakan sebuah singkatan nama dari Na Gawir (sunda buhun), jadi dalam bahasa Indonesia artinya tebing tinggi yang menyerupai lembah. Kampung ini dibelah, nenek moyang Kampung Naga sendiri adalah Eyang Singaparna yang makamnya berada di sebuah hutan di sebelah barat Kampung Naga.
Kampung Naga ini dikatakan unik karena para penduduknya yang masih menjaga dan melestarikan tradisi nenek moyangnya secara turun temurun sehingga tidak terpengaruh oleh modernitas, kepatuhan warganya dalam mempertahankan upacara-upacara adat leluhurnya seperti dalam hal upacara religi, pengetahuan, kesenian, bahasa dan mata pencaharian leluhurnya. Dahulu sempat terdengar kabar kalau Kampung Naga ditutup untuk orang luar karena mereka tidak mau daerahnya dijadikan objek wisata dan Kampung Naga sendiri menyebut bahwa sejarah kampungnya dengan istilah “pareum obor”, pareum jika diartikan dalam bahasa indonesia yaitu mati, sedangkan obor sendiri artinya penerangan atau cahaya, maka jika diterjemahkan secara singkat artinya matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri.
Jadi mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya, menurut masyarakat Kampung Naga, hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip sejarah mereka pada saat kampung ini dibakar oleh organisasi DI/TII yang menginginkan negara Islam di Indonesia dan Kampung Naga pada saat itu lebih mendukung Soekarno. Oleh karena tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga maka DI/TII membumihanguskan perkampungan tersebut pada 1956.
Adapun versi sejarah yang diceritakan pada masa kewalian Sunan Gunung Djati, seorang abdinya yang bernama Singaparna ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, ditempat tersebut sang abdi bersemedi dan dalam persemediannya, ia mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
3. Kepecayaan dan Larangan Kampung Naga
Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, namun walaupun mereka memeluk agama Islam mereka tetap menjaga warisan budaya leluhurnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau “karuhun”, segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu, dan kepercayaaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat, percaya terhadap “jurig cai”, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam, kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, sedangkan tempat yang dijadikan tempat hantu tersebut oleh masyarakatnya disebut sebagi tempat angker.
Demikian juga tempat-tempat seperti makam sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan Masjid merupakan tempat suci bagi masyarakat Kampung Naga. Masyarakat di Kampung Naga takut terhadap suatu aturan atau hukum yang biasa mereka katakan “pamali”, kata tersebut sangat kuat bagi masyarakat Kampung Naga, pamali diartikan juga sebagai pantrangan yaitu ketentuan hukum tidak tertulis yang wajib di junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari mereka, karena mereka percaya bahwa jika pamali tersebut dilarang maka mereka akan mendapatkan hal yang buruk yang menimpa mereka, masyarakat Kampung Naga memiliki dua tempat larangan yaitu dua hutan larangan sebelah timur dan sebelah barat, dimana kedua tempat ini tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali pada saat upacara dan berziarah, ada satu buah bangunan yang dianggap keramat yaitu “Bumi Ageung” yaitu sebuah tempat pelaksanaan rutinitas upacara adat dan tempat ini juga tidak boleh dimasuki kecuali oleh ketua adat dan kuncen.
Dalam pembangunannya, rumah-rumah diatur sedemikian rupa yaitu dengan memanjang Timur dan Barat menghadap Selatan, dan setiap rumah harus saling berhadapan untuk menjaga kerukunan antar warga. Dan segala bahan dan peralatan yang digunakan di Kampung Naga juga harus serba alami, mereka membangun rumah tersebut secara bergotong royong, dan praktik pembangunannya pun mempunyai wawasan lingkungan yang futuristik, baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.
4. Adat istiadat Kampung Naga
Kampung Naga merupakan kampung adat yang menjadi salah satu tempat wisata dan pastinya beberapa hal yang unik dari Kampung Naga ini adalah keunikan dalam adat istiadat mereka diantaranya seperti upacara adat yang dilakukan, hal-hal yang ditabukan, adat terhadap waktu sampai religi dan sistem kepercayaan.
a) Upacara-Upacara Adat
upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga seperti :
1) Upacara Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha untuk menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Warga Kampung Naga sangat patuh terhadap aturan adat. Selain karena penghormatan kepada leluhurnya, juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dihawatirkan akan menimbulkan mala petaka.
2) Upacara Hajat
Sasih dimana upacar ini dilaksanakan oleh seluruh warga Sanagayang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun diluar yang tujuannya untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga dan serta rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang telah diberika-Nya.
3) Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan setelah selesai akad nikah. Adapun tahap-tahap yang dilakukan adalah nincak endog, membuka pintu, ngariung, ngampar dan diakhiri dengan munjungan. Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. Mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. Panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. Ketika melantunkan syair sawer, panyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang berkumpul di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. Isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru. Usai upacara sawer, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara nincak endog. Endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu.
b) Hal-Hal Yang Ditabukan
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap warga Kampung Naga. Misalnya tata cara membangun bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu, atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap ke sebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedong. Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rejeki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang, untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau dilarang mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari selasa, rabu, dan sabtu. Masyarakat Kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna (di Tasik) berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga. Warga Kampung Naga tidak mengenal alat musik kecuali Angklung dan Sejak. Mereka juga tidak mengenal alat-alat musik lain seperti gitar, biola, piano, drum, pianika, dsb.
B. Kerangka Pemikiran
Mayoritas penduduk Kampung Naga beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Sehingga tidaklah heran jika ajaran dan larangan di Kampung Naga sama seperti ajaran di Islam.
Dalam berkomunikasi warga Kampung Naga menggunakan bahasa Sunda asli. Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih menggunakan peralatan atau perlengkapan hidup yang sederhana tanpa teknologi jadi semuanya serba alami, karena salah satu ajaran mereka adalah memanfaatkan, segala sesuatu yang ada di alam, seperti untuk memasak, masyarakat nya menggunakan kayu bakar dan untuk membajak mereka tidak menggunakan traktor tetapi mereka menggunakan cangkul, dan yang pasti masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, mereka tidak menggunakan listrik, penerang ruangan mereka menggunakan lampu api (colen).
C. Hipotesis
Masyarakat Kampung Naga tidak akan menghilangkan adat istiadat nenek moyang mereka, karena jika mereka menghilangkan adat istiadat itu maka mereka takut jika ada suatu hal buruk yang menimpa mereka, karenanya mereka percaya bahwa jika mereka melanggar semua itu mereka akan mendapatkan hal-hal yang buruk yang tidak di inginkan.
Selain itu di Kampung Naga juga ada yang namanya pamali, yang merupakan peringatan atau hukum yang paling mereka takuti dan tidak bisa di langgar, jadi masyarakatnya paling takut dengan yang namanya pamali sehingga tidak perlu ada peringatan lain lagi, dengan kata pamali saja mereka sudah takut. Jadi kemungkinan besar mereka tidak akan pernah meninggalkan adat-istiadat para leluhur mereka, dan akan seterusnya menjaga dan melestarikan adat serta kebiasaan mereka, serta bahasa yang selama ini mereka gunakan.
D. Metodolologi Penelitian
Dalam menyusun hasil dari penelitian, kami memakai beberapa aspek berikut:
1. Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan tradisi etnografi komunikasi, teori subtantif yang diangkat untuk menganalisis ajaran, larangan dan kepercayaan masyarakat Kampung Naga. Tradisi etnografi dalam penjelasannya, memandang perilaku komunikasi sebagai perilaku yang lahir dari interaksi tiga keterampilan yang dimiliki setiap individu sebagai mahluk sosial. Ketiga keterampilan itu terdiri dari keterampilan linguistik, keterampilan interaksi dan keterampilan budaya.
Dengan demikian tradisi etnografi komunikasi membutuhkan alat atau metode penelitian yang bersifat untuk mengasumsikan bahwa perilaku dan makna yang dianut sekelompok manusia hanya dapat dipahami melalui analisis atas lingkungan alamiah (natural setting) mereka.
Menurut David Williams (1995) dalam buku Lexy Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah, (Moleong, 2007:5).
2. Sumber Data
Data yang kami dapatkan adalah data yang bersumber langsung pada masyarakat Kampung Naga, seperti kuncen dan pemandu atau yang sering kita dengar dengan nama tour guide.
3. Jenis Data
Jenis data yang kami gunakan adalah jenis data kualitatif, dimana kami melakukan pengamatan langsung dan wawancara kepada kuncen ataupun tour guide, sehingga kami bisa mengetahui informasi langsung dari pusatnya dan kami dapat mengetahui secara langsung bagaimana kualitas atau keadaan pada Kampung Naga tersebut. Dimana fungsinya lebih meyakinkan dan memperkuat penelitian kami tentang Kampung Naga ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam tekhnik ini, kami melakukan dua cara untuk memeroleh data yang akurat, diantaranya;
a) pengamatan langsung
b) wawancara langsung dengan warga setempat
Kami menggunakan data primer, sehingga kami melakukan pengamatan langsung terhadap Kampung Naga tersebut supaya kami mendapatkan informasi langsung dari sumbernya, dan kami juga dapat melihat secara langsung tentang bagaimana kehidupan masyarakat Kampung Naga, serta bagaimana ajaran dan larangan serta kepercayaan yang mereka laksanakan selama ini. Kami langsung menanyakan semua itu dengan mewawancarai langsung kepada beberapa tokoh masyarakat Kampung Naga.
5. Pengelolaan dan Analisis data
Sumber data diperoleh melalui pengamatan secara langsung, dan hasil wawancara dengan responden (kuncen dan pemandu) yang mengetahui seluk-beluk tentang Kampung Naga, kemudian kami olah data tersebut dengan kami diskusikan secara kelompok tentang penelitian ke lapangan, serta bagaimana pemecahan atau kesimpulan dari hasil penelitian kami tersebut. Kemudian akan kami analisis dari hasil data-data yang telah kami dapatkan dari kuncen dan pemandu Kampung Naga tersebut.
BAB III
HASIL PENELITIAN LAPANGAN
A. Kondisi Umum
Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawi, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dngan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Adapun batas wilayahnya :
- Di sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga).
- Di sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
- Di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis, ada 101 kepala keluarga dan secara total ada sekitar 300 jiwa yang menetap di Kampung Naga ini. Penduduk Kampung Naga menganut agama Islam, yang dikombinasikan dengan kebudayaan setempat warisan dari nenek moyang dulu. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Kampung Naga menganut sistem Bilateral, yang artinya menarik keturunan dari garis ibu dan ayah. Sedang untuk sistem pemerintahan sendiri masyarakat Kampung Naga tetap mengakui adanya sistem kemasyarakatan Formal dan Non-formal.
Dalam sistem formal meliputi kepala RT dan Kepala Dusun dan semua unsur yang terkait didalamnya, termasuk sistem pemerintahan. Dalam sistem Non-formal, masyarakat Kampung Naga mengenal dan mengakui adanaya Kuncen (juru kunci) sebagi pemangku adat. Ada juga Punduh yang berfungsi mengurusi masyarakat dalam kerja sehari-hari. Dirinya bertindak sebagai pengayom masyarakat apabila ada kegiatan kemasyarakatan. Begitupula dengan bidang keagaman yang diutus oleh Leube. Dirinya punya wewenag dan tanggungjawab dalam mengurus masyarakat pada masalah keagamaan dan hal lain yang terkait dengan agama. Dan untuk jabatan ini, ditetapkan sistem turun temurun karena ini bukan merupakan jabatan politik.
Untuk urusan perekonomian, masyarakat di Kampung Naga berfokus kepada pertanian yang hasilnya untuk masyarakat sendiri dan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
Penduduk yang tinggal disana masih menggunakan peralatan dan gaya hidup yang sangat tradisional, karena mereka ingin melestarikan budaya dan tradisi nenek moyangnya, seperti dalam membangun rumah, lampu penerangan, dan bahasa daerah yang masih kental mereka gunakan yaitu bahasa sunda. Terdapat satu orang sesepuh yang dianggap sebagai ketua Kampung Naga atau kuncen. Mata pencahariannya adalah bertani yaitu sebagian besar menanam padi, dari hasil panennya biasanya mereka tidak pernah mengalami kekurangan dalam hal pangan, karena mereka selalu menyimpan hasil panennya dalam jangka panjang selama satu tahun, jadi mereka tidak pernah khawatir akan hal itu. Hasilnya mereka simpan di sebuah tempat yang sakral dan tidak boleh sembarang orang untuk melihatnya yang disebut “Leuit” atau lumbung padi.
Selain itu penduduk yang tinggal disana masih memegang ajaran dan larangan dari para leluhurnya, semua larangan yang mereka tetapkan adalah dengan hanya satu kata yaitu ”pamali”, jika mereka melanggar larangan yang ditetapkan, mereka percaya akan ada hal buruk menimpanya. Ajaran yang mereka lakukan tentunya ajaran Islam, akan tetapi ada beberapa ritual yang mereka lakukan sebagaimana para leluhurnya lakukan sebelumnya.
B. Temuan
Ada berbagai macam hal yang kami temukan dilapangan saat kita melakukan penelitian langsung ke Kampung Naga. Pertama kali kami datang, kami disambut oleh seorang (tour guide) dari Kampung Naga, mereka menyambut kami dengan penuh hormat dan mengajak kami untuk masuk ke sebuat tempat, yang dapat dikatakan sebagai aula (tempat pertemuan) dan kami menemukan beberpa hal penting diantaranya; kami dilarang untuk selonjoran kearah kiblat, mereka mengataknnya cukup dengan kata pamali.
Kampung Naga kental akan nuansa alami dan tradisonal. Mereka memiliki filosofi “alam itu rahman rahim” dengan maksud alam itu pengasih dan penyayang. Apabila kita ingin dikasihi dan disayangi oleh alam, kita harus menjaga keaslian alam tersebut agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan karena sejatinya bencana itu datang akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Namun Masyarakat Kampung Naga nampaknya sudah terbiasa dengan para wisatawan, sehingga mereka cenderung beraktivitas seperti biasa meski ada wisatawan yang berlalu-lalang di sekitarnya. Kehidupan keseharian mereka menyesuaikan dengan alam. Memulai aktivitas saat matahari terbit, berhenti beraktivitas saat hari mulai gelap. perabotan rumah tangga semacam kursi dan meja sangat minim digunakan. Mereka juga hidup tanpa listrik. Karenanya aktifitas harus sudah selesai sebelum maghrib tiba karena sudah mulai gelap.
Sementara itu, untuk sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, mereka melakukan hal tersebut diluar kampung. Mereka masih bersekolah seperti biasa meskipun kebanyakan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan beberapa alasan dan jika sakit mereka masih pergi ke apotik atau pusat kesehatan lainnya apabila sudah dianggap cukup serius. Tapi itu semua dilakukan diluar kampung demi menjaga kelestarian dan keaslian kampung yang sudah bertahan sejak dahulu tersebut.
C. Analisis Dengan Menggunakan Teori – Teori Dalam Filsafat
Teori yang kami gunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah dilihat dari segi pragmatism dan idealism;
1. Secara Pragmatisme
Bisa dilihat secara pragmatis bahwa larangan yang ditetapkan atau pamali yang diterapkan oleh masyarakat di Kampung Naga ini semata – mata demi terciptanya kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam dan sekitarnya.
Mereka menyadari bahwa mereka tidak sendiri hidup di dunia ini. Oleh karenanya, pamali itu dibuat untuk menghormati mereka yang ada diluar manusia seperti alam, dan roh – roh yang dipercaya hidup berdampingan dengan masyarakat di kampung tersebut.
2. Secara Idealisme
Secara idealis bisa dilihat juga dalam cara mereka berfilosofi atau berpikir. Mereka lebih mengedepankan kepercayaan yang dianut secara turun – temurun dari leluhur mereka atas segala sesuatu daripada melihat kenyataan yang sedang berlangsung.
Ini dikarenakan mereka masih memegang teguh apa yang dipercaya oleh leluhur mereka dan karenanya mereka tidak ingin mengganggu gugat hasil pemikiran yang telah ada meskipun jika dilogikakan mungkin ada beberapa yang secara logika tidak masuk akal tapi karena mereka ingin budaya tetap lestari, maka mereka masih menerapkan apa yang mereka percaya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari laporan ini adalah sesuai dengan istilah “bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga budayanya” yaitu dengan menjaga kebudayaan yang merupakan warisan dari para leluhur kita dapat lebih menghargai sejarah dan tentunya warisan itu sendiri. Dengan melakukan hal tersebut, kita jadi tahu apa yang dihadapi oleh leluhur kita dan jadi tahu juga bagaimana mereka bersikap sehingga bisa menciptakan generasi penerus yang lebih baik dari sebelumnya.
Dari menjalankan hidup gaya leluhurpun kita jadi mampu menjalani kehidupan berdampingan dengan alam tanpa tergantung kepada tekhnologi yang seringkali membuat kita lupa bahwa lebih mungkin lebih banyak dampak buruknya daripada dampak baiknya untuk kita dalam berkehidupan. Karena sejatinya segala yang kita dapatkan berasal dari alam, oleh karenanya kita harus mampu mejaga kelestarian alam dan hidup berdampingan dengannya supaya tercipta harmoni yang memberikan dampak positif bagi manusia dan alam itu sendiri.
B. Saran
Adapun saran yang kami buata adalah semata-mata kita sebagai masyarakat yang sadar akan kebudayaan, tradisi yang dimiliki agar tetap melestaarikan hal tersebut, karena itu adalah warisan nenek moyang dan cirri dari negara Indonesia, yang kaya akan kebudayaannya.
1. Sebisa mungkin masyarakat memegang teguh ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur karena sudah terbukti ajaran mereka membawa kebaikan kepada penganutnya.
2. Masyarakatpun harus mampu menjaga kelestarian budaya yang diturunkan kepadanya agar terjaga nilai-nilai kebaikan yang terkandung didalamnya.
3. Dengan menjalankan budaya leluhur, diharapkan manusia dapat kembali hidup berdampingan dengan alam agar tercipta timbal balik yang baik diantara keduanya.
REFERENSI
- Hasil pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian
- Hasil wawancara dengan warga setempat
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga
- http://karyatulisilmiah.com/format-dan-konsep-dasar-menyusun-laporan-penelitian/
- http://pandapinter.blogspot.co.uk/2014/03/contoh-laporan-penelitian-sampah.html
- http://kampungnag.blogspot.co.uk/2014/04/kampung-naga_24.html
- http://karyatulisilmiah.com/format-dan-konsep-dasar-menyusun-laporan-penelitian/
Mohon izin salin contoh penelitiannya...
ReplyDeleteMakasih ya...
Salam,
format administrasi desa
surat keterangan
presentasi format administrasi desa